Saturday 29 October 2011

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR KIMIA ANALITIK : ASIDIMETRI DAN ALKALIMETRI


ASIDIMETRI DAN ALKALIMETRI

A.     TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dilaksanakannya percobaan ini adalah untuk menentukan kadar asam asetat dalam sampel.

B.     LANDASAN TEORI
Titrimetri atau analisis volumetri adalah salah satu cara pemeriksaan jumlah zat kimia yang luas dalam pemakainannya. Hal ini disebabkan karena oleh beberapa alasan. Misalnya yaitu cara ini menguntungkan karena pelaksanaannya mudah dan cepat, ketelitian dan ketetapan cukup tinggi dan cara ini dapat digunakan untuk menentukan kadar beberapa zat yang mempunyai sifat yang berbeda.
Pada dasarnya cara titrimetri ini terdiri dari pengukuran volume larutan peraksi yang dibutuhkan untuk bereaksi secara stoikiometri dengan zat yang akan ditentukan. Larutan pereaksi biasanya diketahui kepekaannya dengan pasti, disebut peniter atau larutan baku. Sedangkan proses penambahan peniter tersebut ke dalam larutan zat yang akan ditentukan disebut titrasi. Dalam proses ini bagian-bagian peniterb ditambahkan ke dalam larutan zat yang akan ditentukan dengan bantuan alat yang disebut buret sampai tercapai titik kesetaraan. Titik kesetaraan adalah titik pada saat pereaksi dan zat yang ditentukan bereaksi sempurna secara stoikimetri (Rivai, 1995).
Kadang-kadang kita perlu mengetahui tidak hanya atau sekedar pH, akan tetapi perlu kita ketahui juga berapa banyak asam atau basayang terdapat didalam sampel. Sebagai contoh, seorang ahli kimia lingkungan mempelajari suatu danau dimana ikan-ikannya mati. Dia harus mengetahui secara pasti seberapa banyak asam yang terkandung dalam suatu sampel air danau tersebut. Titrasi melibatkan suatu proses penambahan suatu larutan yang disebut tirant dari buret ke suatu flask yang berisi sampel dan disebut analit. Berhasilnya titrasi asam-basa tergantung pada seberapa akurat kita dapat mendeteksi titik stoikiometri. Pada titik tersebut, jumlah mol dari H3O+ dan OH- yang ditambahkan sebagai titrant adlah sama dengan jumlah mol dari OH- atau H3O+  yang terdapat dalam analit. Pada titik stoikiometri, larutan terdiri dari garam dan air. Larutan tersebut adalah asam apabila ion asam yang terkandung didalamnya, dan basa apabila ion basa yang terkandung didalamnya (Atkins, 1997 ).
Titrasi asam-basa sering disebut aidimetri-alkalimetri, sedang untuk titrasi atau pengukuran lain-lain sering juga dipakai akhiran –ometri menggantikan –imetri. Kata metri berasal dari bahasa Yunani dan berarti ilmu, proses atau seni mengukur; i dan o dalam hubungan dengan metri berarti sama saja, yaitu dengan atau dari (with atau of) akhiran -i berasal dari bahasa Latin da -o dari bahasa Yunani. Jadi asidimetri diartikan pengukuran jumlah asam ataupun pengukuran dengan asam (yang diukur jumlah asam atau garam). Tentu saja ini membingungkan, namun usaha untuk menetapkan arti mana yang harus dipakai tidak berasil. Maka asidimetri dan alkalimetri sebaliknya diartikan umum saja, yaitu titrasi yang menyangkut asam dan basa (Harjadi, 1990).
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, dalam stoikiometri titrasi, titik ekivalen dari reaksi netralisasi adalah titik pada reaksi dimana asam dan basa keduanya setara, yaitu dimana keduanya tidak ada yang berlebihan. Dalam titrasi, suatu larutan yang akan dinetralkan, misal asam, ditempatkan di dalam flask bersamaan dengan beberapa tetes indikator asam basa. Kemudian larutan lainnya (misal basa) yang terdapat didalam buret, ditambahkan ke asam. Pertama-tama ditambahkan cukup banyak, kemudian dengan tetesan hingga titik ekivalen. Titik ekivalen terjadi pada saat terjadinya perubahan warna indikator. Titik pada titrasi dimana indikator warnanya berubah disebut titik akhir (Petrucci, 1997 ).
Penelitian dilanjutkan dengan proses absorbsi biogas dengan larutan penyerap NaOH secara kontinu diumpankan pada bagian atas menara pada konsentrasi dan laju alir tertentu, sementara itu biogas dialirkan pada bagian bawah kolom. Gas dan cairan akan saling kontak dan terjadi reaksi kimia. Tiap interval waktu 3 menit, larutan NaOH setelah diabsorsi diambil untuk dianalisa. Jumlah CO2 yang terserap dianalisa dengan metode acidi-alkalimetri.
Penentuan kadar CO2 yang terserap dengan metode acidi-alkalimetri diawali dengan pengambilan 10 ml sampel, kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Selanjutnya ke dalam sampel ditambahkan 3 tetes indikator PP. Setelah itu, dilakukan titrasi dengan larutan HCl sampai warna merah muda hilang. Sehingga untuk kebutuhan titran dicatat sebanyak a ml. Kemudian sampel yang telah ditritasi tadi ditambahkan 3 tetes indikator MO, selanjutnya dititrasi kembali dengan HCl sampai terjadi perubahan warna. Kebutuhan titran dicatat sebanyak b ml. Setelah diketahui jumlah 4 titran yang dibutuhkan dapat dihitung kadar CO2 yang terserap. Perhitungan kadar CH4termurnikan dilakukan dengan program Hysys (Maarif, et al., 2007).
Analisis penentuan konsentrasi asam bebas di dalam larutan uranil nitrat secara potensiometrik didasarkan atas reaksi asambasa (asidimetri). Mula-mula larutan uranil nltrat yang mengandung asam bebas diencerkan keasamannya hingga sekitar 0,1-0,6 N kemudian ditambahkan 1 ml ammonium oksalat jenuh' sebagai larutan penyangga dan dititrasi dengan sodium hidroksida 0,1 N. Pada penelitian ini dilakukan standarisasi asam nitrat bebas dengan dibuat seri larutan asam nitrat dengan variasi konsentrasi sekitar 0,1-0,6 N. L~rutan tersebut selanjutnya dititrasi dengan larutan standard sekunder sodium hidroksida 0,1 N. Metoda yang digunakan adalah titrimetri menggunakan alat potensiometer. Oari data hasil penelitian dapat diketahui baik faktor koreksi analisis maupun kurva standarnya (Yudhi, 2000).

C.     ALAT DAN BAHAN
1.      Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini antara lain yakni :
1.      Gelas Piala
2.      Pipet volume
3.      Labu takar
4.      Buret
5.      Batang Pengaduk
6.      Erlenmeyer
7.      Statif dan klem
2.      Bahan
Adapun bahan – bahan yang digunakan pada percobaan ini anatara lain :
1.      Larutan NaOH
2.      Kalium Biftalat
3.      Asam asetat
4.      Indikator fenolfalein (PP)

UNTUK MENDOWNLOAD FULL MAKALAH INI KLIK DISINI 

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR KIMIA ANALITIK : ANALISIS GRAVIMETRI


ANALISIS GRAVIMETRI
(PENENTUAN AIR KRISTAL BaCl2.XH2O)

A.     Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah menentukan jumlah mol air kristal yang terikat dalam suatu senyawa.

B.     Landasan Teori
Dalam cara pengendapan, analat direaksikan sehingga terjadi suatu endapan dan endapan itulah yang ditimbang. Atas dasar cara membentuk endapan, maka gravimetri dibedakan menjadi dua macam: (1) endapan dibentuk dengan reaksi antara analat dengan suatu pereaksi; endapan bisanya berupa senyawa, baik kation maupun anion dari analat mungkin diendapkan; bahan pengendapannya mungkn anorganik maupun organic. Cara inilah yang biasanya disebut gravimetri. (2) endapan dibentuk secara elektrokimia, dengan perkataan lain analat di elektrolisis, sehingga terjadi logam sebagai endapan. Cara ini biasanya disebut elektrogravimetri. Dengan sendirinya umumnya kation yang dapat diendapkan ( Haryadi, W, 1990 ).
Analisis gravimetri merupakan salah satu bagian dari kimia analitik. Langkah pengukuran pada cara gravimetri adalah pengukuran berat, analit secara fisik dipisakan dari semua komponen lainnya maupun dari solvennya. Pengendapan merupakan teknik yang secara luas digunakan untuk memisahkan analit dari gangguan-gangguan (Uderwood, 1993).
Dalam gravimetri, endapan yang diinginkan adalah endapan hablur kasar, karena endapan seperti ini mudah disaring dan dicuci, selain itu luas permukaan endapan hablur kasar lebih kecil daripada luas permukaan endapan hablur halus, sehingga endapan hablur kasar tersebut, ada suatu ukuranyang sangat penting diperhatikan dalam proses pengendapan yakni kelewatjenuhan nisbi(Rivai, 1995).
Keasaman katalis ditentukan dengan metode gravimetri dengan menghitung daya adsorpsi katalis terhadap basa, dalam penelitian ini basa yang digunakan adalah amonia. Dengan metode ini dapat diukur jumlah gas yang teradsorpsi pada permukaan katalis. Nilai keasaman yang diperoleh dengan cara ini biasanya bukanlah nilai mutlak, karena sifat adsorbsi permukaan padatan katalis terhadap basa gas tersebut sangat tergantung pada kondisi percobaan (Pandiangan, et al., 2008).
Metode langsung secara gravimetri memiliki akurasi yang sangat tinggi namun membutuhkan waktu dan tenaga yang sangat besar. Kebutuhan akan metode yang cepat dalam memonitori fraktuasi kadar air tanah dilapangan menjadi sangat mendesak sebagai jawaban atas tingginya waktu dan tenaga yang dibutuhkan oleh analisis gravimetri (Hermawan, 2005)

C.     Alat dan Bahan
1.      Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.      Oven pemijar
2.      Cawan porselin
3.      Gegep
4.      Eksikator
5.      Neraca analitik

2.      Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah BaCl2.XH2O.

 UNTUK MENDOWNLOAD FULL (.doc) KLIK DISINI  


Makalah Analisis Termal


 BAB I
PENDAHULUAN

Analisis termal  dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat-sifat suatu materi sebagai fungsi terhadap temperatur. Dalam prakteknya, istilah analisis termal digunakan hanya untuk menutupi sifat-sifat spesifik tertentu.  Sifat-sifat tersebut antara lain entalpi, kapasitas panas, massa, dan koefisien ekspansi termal. Pengukuran koefisien ekspansi termal logam adalah contoh sederhana dari analisis termal. Contoh lain adalah pengukuran perubahan massa dari oksida garam atau garam terhidrat saat garam-garam tersebut terurai karena panas. Dengan peralatan modern , materi dalam skala yang luas dapat dipelajari.
Apabila material dipanaskan dengan laju pemanasan tetap, terjadi perubahan kimia, seperti oksidasi dan degradasi, dan atau perubahan fisika, seperti transisi gelas pada polimer, konversi/inversi pada keramik dan perubahan fase pada logam. Analisis termal digunakan sebagai pelengkap analisis difraksi sinar-X. Mikroskopi optik dan elektron digunakan untuk pengembangan material baru dan untuk pengendalian produksi, kadang-kadang digunakan untuk menetapkan perubahan temperatur dan energi berkaitan dengan perubahan struktural; pada kesempatan lain digunakan secara kualitatif untuk menetapkan jejak ”sidik jari” karakteristik material tertentu.
Berbagai tekhnik analisis termal digunakan untuk mengukur satu atau lebih sifat fisik dari sampel sebagai fungsi temperatur. Gambar 1 menunjukkan salah satu metode analisis termal yaitu DTA yang mengukur perubahan aliran energi. Pada metode tersebut dapat dilakukan pemanasan dan pendinginan tepogram, akan tetapi pada umumnya operasi dilakukan degan menaikkan temperatur secara perlahan-lahan. Ruang sampel dapat mengandung udara, oksigen, nitrogen, argon dan lain-lain atau vakum. Sampel dalam jumlah beberapa puluh miligram cukup memadai.
Gambar 1:  metode dasar analisis termal DTA
 
                  

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Analisis Termal Diferensial (Differential Thermal Analysis, DTA)
Salah satu tekhnik yang digunakan dalam analisis termal yakni analisis termal diferensial (DTA) yang mengukur perbedaan temperatur, ΔT, antara sampel dan material pembanding yang inert sebagai fungsi waktu; untuk itu DTA digunakan untuk mendeteksi  perubahan panas. Temperatur sampel  dan blanko harus sama hingga terjadi suatu kondisi termal, seperti peleburan, dekomposisi, atau perubahan dalam struktur kristal, yang terjadi dalam sampel, dimana dalam kasus ini dapat terjadi perubahan yang sifatnya eksotermik atau pun endotermik.
Perbedaan temperatur dapat juga timbul di antara dua sampel yang inert ketika respon keduanya terhadap pemanasan tidaklah sama. Sehingga dengan demikian, DTA dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat termal dan perubahan fase  yang tidak menjurus pada suatu perubahan di dalam entalpi. Garis dasar (base line) pada kurva DTA memperlihatkan proses yang terputus (diskontinu) pada saat terjadinya transisi temperatur dan slope pada kurva tersebut pada beberapa titik akan bergantung pada konstitusi mikrostruktural pada temperatur tersebut.
Kurva DTA dapat digunakan sebagai sidik jari untuk tujuan identifikasi, sebagai contoh, pada penelitian terhadap lempung dimana kesamaan stuktur dari pandangan wujud difraksi yang berbeda sulit untuk diinterpretasikan. Daerah di bawah puncak (peak) DTA dapat dirujuk pada suatu perubahan entalpi dan ini tidaklah dipengaruhi oleh kapasitas panas dari sampel.
Instrument DTA komersial  tersedia dengan skala temperatur -190 sampai 1600ºC. Ukuran sampel biasanya kecil, beberapa miligram, karena akan  lebih sedikit masalah dengan gradient termal dalam sampel yang mungkin akan mengurangi sensitivitas dan akurasi. Rangkaian DTA biasanya didesign dengan sensitivitas maksimum  untuk perubahan termal, tapi rangkaian ini seringkali kehilangan respon dari kalorimeter. Jika data kalorimetri dibutuhkan, biasanya akan lebih baik  dan lebih mudah untuk menggunakan Pembacaan Diferensial Kalorimetri (DSC). 
B.  Peralatan DTA
Beberapa fitur kunci dari suatu analisis differential thermal adalah sebagai berikut (Gambar 2):
Ø  Wadah cuplikan yang di dalamnya terdapat termokopel, kontainer sampel  dan blok logam atau blok keramik.
Ø  Tanur.
Ø  Pengatur suhu.
Ø  Sistem pencatat (rekorder).
Manfaat atau kegunaan utama dari tanur yaitu menyediakan kondisi atau daerah panas yang stabil dan besar dan harus mampu menanggapi dengan cepat terhadap perubahan dari pengatur suhu (temperature programmer). Pengaturan suhu sangatlah penting untuk memperoleh laju pemanasan yang konstan. Sistim perekaman harus mempunyai suatu inersia yang rendah untuk tetap tanggap terhadap variasi reproduksi di dalam percobaan (eksperimen) yang bersifat membangun.
Gambar 2:  skema ilsutrasi dari suatu sel DTA

 
                            

Wadah cuplikan terdiri dari beberapa thermokopel, masing-masing untuk sampel yang dianalisis dan untuk pembanding, yang dikelilingi oleh suatu blok untuk memastikan proses distribusi panas. Sampel diletakkan pada cawan peleburan yang kecil dengan satu lekukan yang dirancang pada bagian alasnya untuk memastikan peletakan yang pas dan nyaman di atas bead termokopel. Cawan peleburan itu bisa dibuat dari bahan-bahan seperti Pyrex, silika, nikel atau platinum, tergantung pada suhu dan sifat alami dari test/uji yang dilibatkan. Penempatan termokopel-termokopel tersebut harusnya tidak boleh berkontakkan langsung dengan sampel untuk menghindari kontaminasi dan degradasi sampel, meskipun sensitivitas dalam hal ini bisa dikompromi.

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA I : HASIL KALI KELARUTAN


HASIL KALI KELARUTAN
A.     TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dalam melakukan percobaan ini, yaitu :
1.       Memperlihatkan prinsip-prinsip hasil kali kelarutan
2.       Menghitung kelarutan elektrolit yang bersifat sedikit larut
3.       Menghitung panas pelarutan PbCl2 dengan menggunakan sifat kebergantungan Ksp pada suhu.
B.     LANDASAN TEORI
            Kebanyakan senyawa ion yang dikaitkan dengan Ksp sering diistilahkan tak larut, maksud sesungguhnya adalah yang kelarutannya amat terbatas. Keterbatasan Ksp untuk zat yang sedikit larut. Kita telah menggunakan istilah ”zat yang sedikit larut” dalam perubahan hasil kali kelarutan. Larutan jenuh dari zat yang kelarutannya terlalu pekat, sehingga aktivitasnya tak dapat dianggap sama dengan konsentrasi molarnya. Tanpa anggapan ini konsep hasil kali kelarutan menjadi tidak jelas maknanya. Sekalipun tidak dinyatakan ”sedikit larut” dalam kesetimbangan kelarutan, apabila dinyatakan nilai Ksp, maka yang dimaksud adalah senyawa ion yang sedikit larut. Semua zat yang terlarut berada dalam larutan sebagai kation dan anion yang terpisah. Misalna, dalam larutan jenuh magnesium fluorida, pasangan ion yang terdiri dari satu ion Mg2+ dan satu ion F-, atau MgF+, mungkin ditemukan. Apabila pembentukkan pasangan ion terjadi dalam larutan, konsentrasi ion bebas cenderung menurun. Ini berarti bahwa banyaknya zat yang harus dilarutkan untuk empertahankan konsentrasi ion bebas yang diperlukan untuk memenuhi rumus Ksp meningkat : kelarutan meningkat apabila terjadi pembentukkan pasangan ion dalam larutan (petrucci, 1988).
            Ksp senyawa dapat ditentukan dari percobaan laboratorium dengan mengukur kelarutan (massa senyawa yang dapat larut dalam tiap liter larutan) sampai keadaan tepat jenuh. Dalam keadaan itu, kemampuan pelarut telah maksimum untuk melarutkan atau mengionkan zat terlarut. Kelebihan zat terlarut walaupun sedikit akan menjadi endapan. Hasil kali kelarutan dalam keadaan sebenarnya merupakan nilai akhir yang dicapai oleh hasil kali ion-ion ketika kesetimbangan tercapai antara fase padat dari garam yang hanya sedikit larut dan larutan itu (Syukri, 1999).
Hasil kali konsentrasi dari ion-ion pembentuknya untuk setiap suhu tertentu adalah konstan, dengan konsentrasi ion dipangkatkan bilangan yang sama dengan jumlah masing-masing ion yang bersangkutan. Kelarutan merupakan jumlah zat yang terlarut yang dapat larut dalam sejumlah pelarut sampai membentuk larutan jenuh.  Sedangkan hasil kali kelarutan merupakan hasil akhir yang dicapai oleh hasil kali ion ketika kesetimbangan tercapai antra fase padat dari garam yang hanya sedikit larut dalam larutan tersebut (Keenan, 1991).
Ksp = HKK = hasil perkalian [kation] dengan [anion] dari larutan jenuh suatu elektrolit yang sukar larut menurut kesetimbangan heterogen. Kelarutan suatu elektrolit ialah banyaknya mol elektrolit yang sanggup melarut dalam tiap liter larutannya. Jika konsentrasi ion total dalam larutan meningkat, gaya tarik ion menjadi lebih nyata dan aktivitas (konsentrasi efektif) menjadi lebih kecil dibandingkan konsentrasi stoikhiometri atau terukurnya. Untuk ion yang terlibat dalam proses pelarutan, ini berarti bahwa konsentrasi yang lebih tinggi harus terjadi sebelum kesetimbangan tercapai dengan kata lain kelarutan akan meningkat (Oxtoby, 2001).
Proses pengendapan merupakan proses pemisahan yang mudah, cepat dan murah. Pada prinsipnya pemisahan unsur - unsur dengan cara pengendapan karena perbedaan besarnya harga hasil kali kelarutan (solubility product constant/KSp). Proses pengendapan adalah proses terjadinya padatan karena melewati besarnya KSp, yang harganya tertentu dan dalam keadaan jenuh. Untuk memudahkan, KSp diganti dengan pKSp = fungsi logaritma = - log KSp merupakan besaran yang harganya positip dan lebih besar dari nol, sehingga mudah untuk dimengerti (Suyanti, et al.,2008).
            Kondisi optimum yang dicapai dengan perbandingan molar 19/5, yang merupakan variasi perbandingan terbesar dibandingan dua variasi lainnya membuktikan bahwa kondisi kejenuhan larutan mempengaruhi proses pembentukan kristal. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa pembentukan kristal dari larutan homogen tidak terjadi tepat pada harga konsentrasi ion sesuai dengan hasil kali kelarutan, tetapi baru akan terjadi saat konsentrasi zat terlarut jauh lebih tinggi daripada konsentrasi larutan jenuhnya. Makin tinggi derajat lewat jenuh, makin besarlah kemungkinan untuk membentuk inti baru, jadi makin besarlah laju pembentukan inti (Dewi, et al.,2003).
   Pada pH kurang dari 3, konsentrasi ion H+ cukup besar, sehingga reaksi (6) cukup berarti untuk mengurangi jumlah Eu3+ yang bereaksi dengan pengemban. Pada pH lebih tinggi dari 3, transport Eu(III) kembali menurun yang disebabkan mulai terbentuknya senyawaan kompleks terlarut antara Eu(III) dengan ion hidroksida. Selain itu, harga tetapan hasilkali kelarutan (Ksp) dari Eu(OH)3 yang relatif rendah akan menyebabkan mulai mengendapnya senyawa tersebut. Kondisi pH umpan sebesar 3 ini digunakan untuk mempelajari pengaruh komposisi pengemban D2EHPA-TBP terhadap koefisien permeasi Eu(III) melalui SLM Hasil optimasi ini ditunjukkan oleh Gambar 3. Laju transport terbaik diperoleh pada penggunaan pengemban campuran 0,8 M D2EHPA dengan 0,2 M TBP (Buchari, et al., 2003).
C.     ALAT DAN BAHAN
Alat – alat yang digunakan pada percobaan ini adalah :
1.       Rak tabung Reaksi
2.       Tabung Reaksi ( 4 buah)
3.       Pembakar listrik
4.       Termometer
5.       Gegep
Adapun bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah :
1.       Pb(NO3)2 0,079 M
2.       KaCl 1 M  

UNTUK MENDOWNLOAD FULL LAPORAN INI KLIK DISINI  

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA I : ENTALPI DAN ENTROPI PELEBURAN


ENTALPI DAN ENTROPI PELEBURAN
A.    TUJUAN PERCOBAAN
Adapun tujuan pada praktikum ini adalah :
1.      Memperkenalkan perbedaan kurva pendinginan cairan murni dan larutan.
2.      Memperlihatkan peristiwa penurunan titik beku yang disebabkan penambahan zat terlarut.
3.      Menghitung entropi dan entalpi pembekuan dengan menggunakan persamaan van’t Hoff.

B.     LANDASAN TEORI
Siklus Born-Haber dan proses-proses yang menghasilkan entalpi pembentukan standar, ΔHf° pada pembentukan oksida piroklor (A3+)2(B4+)2O7. Tahap-tahap I, II, III, dan IV merupakan Siklus Born-Haber. Tahaptahap V dan VI merupakan tahap pembentukan dari unsur-unsurnya menjadi oksida-oksida biner dan akhirnya menjadi oksida piroklor. Untuk mengubah unsur A, B dan molekul O2 menjadi atom-atomnya diperlukan energi atomisasi, dan perubahan entalpinya disebut entalpi atomisasi, ΔHatom (I); atom-atom A, B dan O kemudian diubah menjadi A3+ dan B4+ memerlukan entalpi ionisasi (jumlah entalpi ionisasi pertama, kedua, dan ketiga untuk ion A; jumlah entalpi ionisasi pertama, kedua, ketiga dan keempat untuk atom B), ΔHion, dan O2- menghasilkan entalpi afinitas, ΔHaf (II); selanjutnya ion-ion ini bergabung membentuk kisi struktur oksida piroklor yang menghasilkan entalpi kisi, ΔHL (III); Jumlah dari perubahan-perubahan entalpi tahap I, II dan III adalah entalpi pembentukan standar, ΔH°f (IV). Bila tidak ada data ΔH°f, data entalpi pembentukan oksida A, ΔH°f(A2O3(s)) dan oksida B, ΔH°f(2BO2(s)) (V), serta entalpi pembentukan oksida piroklor A2B2O7(s) dari oksida A dan B, ΔH°fox (VI) dapat digunakan (Suhendar, et al., 2006).
Proses tak reversibel (seperti pendinginan hingga mencapai temperatur yang sama dengan temperatur lingkungan dan pemuaian bebas dari gas) adalah proses spontan, sehingga proses itu disertai dengan kenaikan entropi. Kita dapat menyatakan bahwa proses tak reversibel menghasilkan entropi. Sedangkan proses reversibel adalah perubahan yang sangat seimbang, dengan sistem dalam keseimbangan dengan lingkungannya pada setiap tahap. Setiap langkah yang sangat kecil di sepanjang jalannya bersifat reversibel dan terjadi tanpa menyebarkan energi secara kacau, sehingga juga tanpa kenaikan entropi; proses reversibel tidak menghasilkan entropi, melainkan hanya memindahkan entropi dari satu bagian ke bagian lain (Atkins, 1986).
Untuk proses isoternal dan reversibel, perubahan entropi total dan sistem dan sekelilingnya sama dengan nol. Demikian pula perubahan entropi untuk proses siklus sama dengan nol. Proses-proses reversibel selalu berjalan sangat lama. Ini berarti proses-proses yang terjadi pada waktu yang pendek brupa proses irreversibel dan tentu saja diikuti dengan kenaikan entropi dari sistemnya sendiri atau sistem dan sekitarnya (Sukardjo, 2002).
Entropi zat padat bertambah apabila ia melebur menjadi cair dan semakin tinggi apabila zat cair berubah menjadi gas. Sistem dan lingkungan pada suhu peralihan T dimana kedua fasa berada dalam keseimbangan pada tekanan 1 atm. Pada tiik peralihan, perpindahan energi diantara sistem dan lingkungan adalah terbalik. Pada tekanan tetap.Titik lebur dari sebuah    benda padat adalah suhu di mana benda tersebut akan berubah wujud menjadi benda cair. Ketika dipandang dari sisi yang berlawanan (dari cair menjadi padat) disebut titik beku. Pada sebagian besar benda, titik lebur dan titik beku biasanya sama. Contoh, titik lebur dan titik beku dari "raksa" adalah 234,32 kelvin (-38,83 °C atau -37,89 °F) Namun, beberapa subtansi lainnya memiliki temperatur beku <--> cair yang berbeda. contohnya "agar-agar", mencair pada suhu 85 °C (185 °F) dan membeku dari suhu 32-40°C (89,6 - 104 °F); fenomena ini dikenal sebagai hysteresis (http/id.Wikipedia.org).
Entalpi yang berhubungan erat dengan energi dalam, juga tidak dapat diukur, tetapi hanya dapat didefinisikan dengan cara lain sehingga menjadi fungsi keadaan. Untuk keadaan sistem tertentu terhadap nilai H yang khas. Ciri lain dari fungsi keadaan adalah bahwa selisih nilai fungsi dua keadaan yang berbeda besarnya khas. Energi dalam yang telah dijelaskan sebagai seluruh energi berkaitan dengan partikel-partikel materi di dalam sistem, adalah sesuatu yang tidak dapat diukur. Tetapi, energi-dalam hanya tergantung pada keadaan yang merupakan ciri suatu sistem dan tidak pada bagaimana keadaan-keadaan tersebut dicapai. Kondisi suatu sistem mengacu pada keadaannya, dan setiap sifat yang hanya tergantung pada keadaan dari suatu sistem disebut fungsi keadaan (Petrucci, 1987).

   UNTUK MENDOWNLOAD FULL LAPORAN INI KLIK DISINI